Saturday, June 15, 2019

Ekonomi Maritim




Ekonomi  Maritim Indonesia  

Salah  satu potensi  perekonomian maritim  terbesar yang dimiliki Indonesia adalah sumber   minyak bumi dan gas. Sayangnya Indonesia belum  bisa memanfaatkannya secara maksimal. Ironisnya, sebagian  besar sumber-sumber energi tidak terbarukan ini dikuasai pihak  asing. Padahal sangat jelas, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebut "Bumi  dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara     dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Alih-alih memakmurkan   rakyat, membayar hutang negara pun tidak mampu.

Salah satu contoh   sikap pemerintah yang   pro terhadap kepentingan asing  adalah polemik blok Migas West  Madura. Sekadar informasi, mulanya saham   West Madura dimiliki Pertamina (50 persen), Kodeco  (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya  masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo   Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar L2,5 persen. Meski  bukan Pemegang saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, perusahaan  minyak asal Korea Selatan.

Sikap     pemerintah     yang berpihak     pada kepentingan perusahaan   asing terlihat dari beberapa     kebijakannya. Pertama, Pertamina sejak Mei 2008 telah  lima kali meminta kepada pemerintah agar blok West Madura   sepenuhnya dikelola BUMN. Sayang, hingga kini pemerintah belum mengabulkan   permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham dari Kodeco dan CNOOC  ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment Ltd (PLI) hanya berlangsung  dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang transparan.

Kedua,  porsi saham Pertamina  di West Madura adalah yang paling besar.   Namun pada kenyataannya yang menjadi pengelola  adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya berada  pada level 13-14 ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan  sanggup menyedot minyak di ladang itu hingga 30 ribu barel per hari.

Ketiga,  potensi cadangan  blok tersebut menurut  Federasi Serikat Pekerja Pertamina  Bersatu (FSPPB) cukup besar, yakni 22,22  juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika diasumsikan  harga minyak mentah 100 dolar AS per barel dan gas 4 dolar AS per MM bhr,  maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp 28 triliun.

Jika blok tersebut   dapat diproduksi 30   ribu barel migas per hari,  cadangan tersebut baru habis selama  enam tahun. Setelah dipotong cost recovery  10 dolar AS per barel, kekayaan yang dapat  diraup sekitar Rp 4 triliun per tahun. Menyerahkan pengelolaan  kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai  operator.

Inilah  ironi negara  yang kaya migas  namun pengelolaannya justru didominasi  pihak asing. Padahal Pertamina sebagai  satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan  yang tak kalah hebatnya dibanding perusahaan asing.   Kondisi ini terjadi karena terpasung regulasi yang kapitalistis,  khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan   swasta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung dianaktirikan. Walhasil kekayaan negara  ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat.

Dari aspek  sumber daya  alam, Indonesia  merupakan negara kaya. Tanah  subur kaya mineral, lautan kaya  ikan, berbagai barang tambang strategis,  minyak dan gas tertimbun di perut bumi Indonesia.  Namun jika dicermati satu-persatu intervensi dan penguasaan   oleh asing masih begitu besar dalam pemanfaatan sumber daya alat tersebut.

Berdasarkan  data Indonesia  Energy Statistic  2009, yang dikeluarkan Kementerian   ESDM, total cadangan minyak Indonesia   mencapai 2998 MMSTB (million standard tanker barrel). Jumlah ini  menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar  ke-29 di dunia. Sementara cadangan gas mencaPai 159,63 TSCF (trillion standard  cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia.

Indonesia   merupakan produsen batu bara   terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara mencapai  126 miliar ton. Indonesia juga kaya dengan energi.panas bumi  (geothermal) yang tersebar di berbagai penjuru nusantara, potensinya mencapai   28,1 GW. Barang Tambang seperti nikel, emas, perak, timah, tembaga dan bijih besi juga jumlahnya  sangat melimpah. Bahkan Indonesia diketahui memiliki kualitas nikel terbaik di dunia.

Namun,  kekayaan alam  tersebut justru  lebih banyak dinikmati negara lain   ketimbang penduduk Indonesia. Berdasarkan Neraca  Energi 2009 dari 346 juta barel minyak mentah yang diproduksi   di dalam negeri, 38 persen diekspor ke luar negeri. Ironisnya   pada saat yang sama indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta  BOE, atau 35 persen dari total produksi dalam negeri. Ini terjadi karena  85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai swasta termasuk asing. Di sisi lain,  rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak dinaikkan agar sesuai dengan standar  internasional.

Demikian   pula dengan gas alam   Indonesia. Produksinya dimonopoli swasta  asing. Sebagian besar hasilnya dijual ke luar  negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari  total produksi 459 juta BOE (barrel of oil equfualent) pada 2009, hampir 60  persen diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12 persen) dan  dalam bentuk LNG 48 persen. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19 persen),   PLN (10 persen) dan lain-lain.

Padahal  dengan jumlah  tersebut, kebutuhan  domestik sangat tidak memadai.   Sejumlah industri menjerit-jerit   kekurangan pasokan gas. Hal yang sama   juga dialami PLN. Akibat kekurangan gas,  PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya  jauh lebih mahal. Negeri ini amat kaya, namun perut penduduknya  kelaparan. Ibarat anak ayam mati di lumbung padi.

Industri dan Jasa Maritim

Sebagai   negara maritim terbesar   di dunia sudah seharusnya  Indonesia menjadi bangsa yang  makmur dan disegani. Namun, kenyataannya  dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah,   negara ini seakan tak berdaya. Apalagi di bidang    industri maritim, roda perekonomian Indonesia lumpuh terpenjara  oleh kepentingan asing. Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km  persegi, terdiri dari 0,3 juta km persegi perairan teritorial, 2,8 juta  km persegi perairan pedalaman dan kepulauan 2,7 juta km persegi Zona Ekonomi  Eksklusif (ZEE), serta dikelilingi lebih dari 77.504 pulau, menyimpan kekayaan yang  luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan  penghasilan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen.

Melihat besarnya  potensi laut nusantara, sudah  seharusnya Indonesia mempunyai infrastruktur   maritim kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap dan modern;  sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim yang berkualitas;   serta kapal berkelas, mulai untuk jasa pengangkutan manusia, barang, migas, kapal  penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (AL).

Namun  kondisi  ideal tersebut  sulit tercapai. Hal ini  terjadi karena industri maritim   Indonesia tidak dikelola dengan benar.   Sehingga tak satupun negara yang segan dan menghormati  Indonesia sebagai bangsa maritim. Negara asing menempatkan   bangsa Indonesia sebagai pasar produk mereka. Ironisnya, pemerintah hanya   berdiam diri tanpa melakukan langkah perbaikan.

Padahal,   kedepan industri   kelautan Indonesia  akan semakin strategis,  seiring dengan pergeseran  pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik  ke Asia-Pasifik. Hd ini terlihat 70 persen  perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail  75 Persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia  dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.

Potensi  ini dimanfaatkan  Singapura dengan membangun pelabuhan pusat   pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan  dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km persegi,  dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat  jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang  dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura.

Selama  ini sudah  menjadi rahasia umum bila  industri dan jasa maritim Indonesia  berada di bawah kendali Singapura. Lihat  saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar pulau sebagian  besar menggunakan bendera negeri The Red Dot, khususnya kapal yang memuat  barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.

Sebagai  contoh industri  perkapalan yang bertebaran  di beberapa tempat di Kepulauan  Riau, khususnya di pulau Batam dan  beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau  Karimun. Di sana terdapat investasi bidang   perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang  sangat takut terhadap KKO Marinir Indonesia.

Penghambat  Industri Maritim

Di sisi     lain, banyak     faktor yang menghambat pembangunan industri maritim nasional.   Pertama,   sistem finansial.   Kebijakan sektor perbankan atau   lembaga keuangan di Indonesia  yang sebagian besar keuntungannya     diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank  Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak   mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara  11-12 persen per tahun dengan 100 persen kolateral (senilai pinjaman).

Bandingkan  dengan sistem  perbankan Singapura  yang hanya mengenakan bunga dua  persen+LIBOR dua persen (total sekitar  4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen  sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah.  Sebagai contoh bagi pengusaha kapal, kapal yang dibelinya bisa  menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha nasional kesulitan mencari pembiayaan   untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem perbankan Indonesia.

Kedua,  sesuai  dengan Kepmenkeu No  370/KMK.03/2003 tentang   Pelaksanaan Pajak Pertambahan     Nilai yang Dibebaskan Atas impor dan/atau Penyerahan  Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa  Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak.  Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar   pasal 16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada impor atau  pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas Negara apabila dalam jangka  waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan.

Artinya,   kebijakan tersebut   banci. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum  5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar  22,5 persen dari harga penjualan PPn 10 persen, PPh impor  7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal di Indonesia     jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahurU paling banyak  2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus  menjual kapal:rya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terhutang kepada negara  sesuai Pasa1 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh  kebijakan fiskal yang dianut.

Ketiga, buruknya  kualitas sumber daya maritim  Indonesia menyebabkan biaya langsung   industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji  tenaga Indonesia sepertiga gaji dari tenaga kerja  asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung jawab,     menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera  dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai dengan UU No 7712008 tentang  Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing     yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.

Keempat,   persoalan   klasifikasi  industri maritim   di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian  Perhubungan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat   industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau   disertifikasi PT BKI, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia. Kalaupun diakui,   pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.

Industri  Perkapalan

Indonesia   dengan perairan   yang luas, membutuhkan sarana transportasi  kapal yang mampu menjangkau pulau-pulau yang  jumlahnya mencapai lebih dari 17.504 pulau. Tidak   heran jika kebutuhan industri perkapalan setiap tahun  terus meningkat. Sebagai Negara kepulauan, sudah seharusnya  Indonesia mengembangkan industri perkapalan nasional. Kebijakan  ini didukung dengan adanya Inpres No. 5/2005 yang intinya bahwa  seluruh angkutan laut dalam negeri harus diangkut kapal berbendera  Indonesia. Tetapi, permintaan tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan memproduksi  kapal.
Industri  perkapalan  merupakan industri  padat karya dan padat modal  yang memiliki daya saing tinggi.  Karena ini dukungan pemerintah sebagai   pemegang kewenangan sangat penting. Faktor kebijakan  moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan   tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar  pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan. Perbankan enggan   menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh resiko karena  kontrol terhadap industri ini sulit.

Selain itu,   masalah lahan   yang digunakan industri perkapalan terutama   galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan  dan hak pengelolaan lahan (HPL) dikuasai PT Pelindo. Sehingga  Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika  ada keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih   berkembang. Dalam pengernbangan jasa maritim hendaknya diarahkan untuk meraih empat  tujuan secara seimbang yakni:
  1. pertumbuhan  ekonomi tinggi,  secara berkelanjutan  dengan industri dan jasa  maritim sebagai salah satu   penggerak utama (Prime mover);   
  2. peningkatan     kesejahteraan  seluruh pelaku     usaha, khususnya para pemangku   kepentingan yang terkait industri  dan jasa maritim;
  3. terpeliharanya  kelestarian lingkungan  dan sumberdaya maritim; dan
  4. menjadikan industri  dan jasa maritim sebagai  salah satu modal bagi pembangunan     maritim nasional.

Sehingga   ada benang merah yang   dapat terlihat antara  ocean policy dan pengelolaan   sumber daya maritim dengan industri  dan jasa maritim sebagai penggerak bagi pertumbuhan  sektor maritim.

Industri  Perikanan dan  Bioteknologi

Industri     perikanan dan     bioteknologi diperkirakan memiliki  nilai ekonomi sebesar 82 miliar dolar AS  pe tahun. Namun karena pemerintah belum serius  menggaraP
sub     sektor   ini (berdasarkan   kajian PKSPL IPB; 2006), Indonesia     diperkirakan kehilangan potensi pendapatan   dari produk-produk bioteknologi maritim sekitar  1 miliar dolar AS per tahun. Hal ini disebabkan karena   lemahnya aplikasi bioteknologi maritim serta jarangnya pengusaha   yang terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan inventarisasi     Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, terdapat 35.000 biota laut, sehingga Indonesia  mempunyai potensi pendapatan miliaran dolar per tahun dari produk-produk bioteknologi.

Negara-negara  maju yang memiliki  sumberdaya maritim terbatas, seperti   produk bioteknologi maritim Amerika Serikat  mereka mendapat pendapatan hingga 4,6 miliar dolar   AS, sedangkan Inggris meraup keuntungan dari sektor  ini sekitar 2,3 miliar dolar AS. Pemanfaatan industri perikanan  dan bioteknologi ini meliputi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika  dan bio energi. Semua bisa disediakan Indonesia dengan sumber daya alam yang ada. Adapun  produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa biota laut antara lain makanan, tablet,   salep suspensi, Pasta gigi, cat, tekstil perekat, karet, film, pelembab, shampo, lotion dan produk  wetlook.

Perikanan

Berdasarkan   data Kementerian Kelautan   dan Perikanan, potensi sumberdaya   perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun,  produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 ton per tahun  dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton per tahun sehingga  hanya tersisa 0,5 juta ton per tahun. Produksi Tuna naik 20,17 persen pada 2007, akan tetapi  produksi Tuna hanya 4,04 persen Kementerian Kelautan dan Perikanan telah merintis kelompok pengawas   masyarakat (POKWASMAS) di daerah pesisir di bawah pembinaan Direktorat Jenderal PSDKP.

“Disinggung mengenai kurang optimalnya   PANNAS BMKT dalam melakukan penanganan,   Sudirman biasa disapa dengan tegas membantahnya.   Menurutnya, penanganan BMKT sudah dilakukan serius  dengan cara proses perizinan survei dan perizinan  pengangkatan harus melalui penilaian tim teknis dan  harus disetujui instansi yang terkait. Kemudian telah dimiliki warehouse  BMKT untuk penanganan BMKT hasil pengangkatan.”

“Sudirman   menambahkan,   mengenai penggunaan   kata harta karun, menurutnya   perlu diklarifikasi, dimana penggunaan  istilah harta karun kurang tepat. Mengingat, penggunaan   istilah harta karun cenderung dikaitkan dengan aspek   ekonomi yang nantinya akan menjadi incaran banyak para pemburu  harta karun. Harta karun yang dikelola PANNAS BMKT sendiri merupakan benda berharga   asal muatan kapal yang tenggelam yang mengandung aspek sejarah, kebudayaan, ilmu  pengetahuan dan ekonomi. Sampai sejauh ini, Sudirman mengakui jika kegiatan pencurian BMKT di pantai  Utara dari seluruh produksi perikanan tangkap. Jumlah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang,  akan tetapi lebih dari 50 persen atau 1.466.666 nelayan berstatus sambilan utama dan sambilan tambahan. jumlah   nelayan naik terus, yaitu 2,06 persen pada tahun 2006-2007, sedangkan ikan makin langka.

Zona  Ekonomi  Eksklusif

Berdasarkan  konvensi hukum  laut 1982, wilayah  perairan Indonesia meliputi   kawasan seluas 3,1 juta  meter persegi terdiri atas perairan kepulauan  seluas 2,8 juta km persegi dan laut sekitar   0,3 juta meter persegi Indonesia juga memiliki hak berdaulat  atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang  melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km persegi dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di   laut lepas di luar 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar   laut perairan internasional di luar landas kontinen. Tertuang dalam pasal 792-232 UNCLOS membebankan kewajiban  bagi setiap negara pantai untuk mengelola dan melestarikan sumber daya laut mereka.

Di zona  Ekonomi Eksklusif,  Indonesia memberlakukan  hak berdaulat untuk tujuan  eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan  pelestarian hidup dan sumber daya alam yang  tidak hidup dari tanah dan sub dasar laut dan  perairan dan hak-hak kedaulatan berkenaan dengan kegiatan   lain untuk eksplorasi ekonomi dan eksploitasi zona, seperti produksi energi  dari arus arus dan angin, dan dari segi yuridis yaitu pembentukan dan penggunaan  buatan, instalasi pulau dan struktur, penelitian ilmiah kelautan, pelestarian lingkungan laut,  dan hak-hak lain berdasarkan hukum internasional.

Hak   berdaulat Indonesia   sebagaimana dimaksud   dalam ayat 2 deklarasi ini,  Pemerintah, sehubungan dengan dasar laut  dan lapisan tanah, terus melaksanakan sesuai  dengan ketentuan hukum dan peraturan di Indonesia  tentang Perairan Indonesia dan Landas Kontinen     Indonesia perjanjian internasional dan hukum internasional.

Dalam  Zona Ekonomi  Eksklusif (ZEE)  Indonesia, kebebasan navigasi  dan penerbangan dan peletakan sub-kabel  laut dan pipa akan terus diakui sesuai dengan  prinsip-prinsip baru hukum internasional laut. Lalu berikutnya yaitu  dimana garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah batas dengan negara   berdekatan atau sebaliknya Pemerintah Indonesia siap, pada waktu yang tepat untuk masuk   ke dalam perundingan dengan negara yang bersangkutan dengan maksud untuk mencapai kesepakatan.

Konsep   ZEE mampu   memberikan berbagai   keuntungan. Misalnya, jika   ZEE mampu diterapkan dengan   baik, maka keuntungan ekonomi akan  mengikutinya karena sumber daya perikanan dan lainnya  di daerah tersebut sangat melimpah. Selain itu,  keuntungan politis juga bakal diperoleh pemerintah  Indonesia, misalnya hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat Malaka dapat  digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil  penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat  dipakai sebagai batas operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat  Malaka.

Diketahui, Batas dalam  ZEE adalah batas luar dari  laut teritorial. Zona batas luas  tidak boleh melebihi 200 mil dari bibir  pantai. Penetapan universal wilayah ZEE seluas  200 mil akan memberikan 36 persen dari seluruh  total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil,  di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar  90 persen dari seluruh simpanan ikan komersial, 87 Persen dari  simpanan minyak dunia dan 10 persen simpanan mangaan.

Sumber  Daya Migas  Dan Mineral
Laut  selain  menjadi sumber  Pangan juga mengandung beraneka sumber   daya energi. Kini,para ahli menaruh perhatian terhadap   laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi  di masa mendatang. Hasil penelitian Richardson pada 2008 menunjukkan bahwa sekitar  70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung  migas,40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cadangan minyak buminya 11,3  miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan  biogenik di lepas pantai barat Sumatera selatan, Jawa Barat dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh  potensi migas.

Dari hasil penelitian  BPPT (1998) dari 60 cekungan  minyak yang terkandung dalam alam  Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan  terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah  diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah.  Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara  minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel diantaranya  sudah dieksploitasi.

Sisanya  sebesar 89,5  miliar barel berupa kekayaan  yang belum terjamah. Cadangan minyak yang  belum terjamah itu diperkirakan 523 miliar barel  terkandung di lepas pantai dan lebih dari separuhnya  atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara  itu untuk sumber daya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan   1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila  dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan potensi kekayaan  tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium dan  lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik masih diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan  potensi tersebut.

Selain itu,  Indonesia dapat  memanfaatkan potensi  laut sebagai sumber energi  listrik. Yaitu, melalui teknologi  panas laut pasang surut, arus laut,  angin, gelombang laut serta bioenergi  dari ganggang laut. California Energy Commission, misalnya   memperkirakan jumlah Tenaga ombak pecah di dunia dapat menghasilkan  2-3 juta megawatt energi, dimana pada lokasi yang tepat ombak bisa membangkitkan energi sekitar  65 megawatt per mil Panjang pesisir.

Laut  juga menyimpan  kandungan bahan tambang  dan mineral yang bernilai ekonomi  tinggi. Sama halnya di daratan, potensi  mineral dan tambang terbagi atas tiga kelas  sesuai standar indonesia, yaitu A, B, dan C. Yang  membedakan adalah masalah teknis eksploitasi dan penambangannya.

Pariwisata Bahari

Negara  bagian Queensland,  Australia, dengan panjang garis  pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan devisa  2 miliar dolar AS dari sektor pariwisata pada tahun   2002. Sementara negara kepulauan Seychelles yang amat kecil di Madagaskar   berhasil mendapatkan 70 persen pendapatan nasionalnya dari wisata bahari, dan menyokong GDP per  kapita (pada 2000) sebesar 7.700 dolar AS yang jumlahnya berlipat dari Indonesia.

Pembangunan   pariwisata bahari pada   hakikatnya adalah upaya mengembangkan  dan memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan  pesisir dan lautan Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki kekayaan   alam dan panorama pantainya yang indah dengan gelombang pantai     yang menantang di beberapa tempat serta keragaman flora dan fauna seperti terumbu  karang dengan berbagai jenis ikan hias. Adapun kawasan wisata bahari Indonesia antara lain :

a. Kepulauan  Padaido, Biak, Papua
Kawasan wisata  bahari ini sangat  ideal untuk kegiatan diaing, wisata   cruise. Program pengembangan wisata bahari   di kepulauan Padaido, antara lain diversifikasi kegiatan    nelayan dengan pengembangan wisata memancing menggunakan  perahu tradisional nelayan, paket wisata selain di daerah   kapal tenggelam, serta pengembangan cruiser regional dengan   menggunakan kapal pinisi dan Seaplane untuk menjangkau pulau-pulau kecil.

b. Kepulauan  Selayar, Takabone Rote, Sulawesi  Selatan
Kawasan  wisata bahari  ini sangat cocok untuk  diving, snorkeling, berlayar,     dan memancing. Program pengembangan  wisata bahari di Kepulauan Selayar adalah sebagai hub wisata  cruise internasional regional, dart cruise kapal tradisional seperti  pinisi Nusantara.

c. Pulau  Nias dan Kepulauan  Mentawai, Sumatera Utara
Kawasan wisata  bahari di Pulau Nias sangat  ideal untuk selancar dengan pengembangannya   ekowisata berbasis komunitas serta olahraga selancar.  Program pengembangan di kawasan ini lebih fokus pada penganekaragaman  daya tarik wisata dengan menampilkan budaya daerah.

d. Kepulauan  Raja Ampat, Papua  barat
Kawasan  wisata bahari  di kepulauan ini  sangat ideal untuk kegiatan  menyelam. Pengembangan kawasan wisata bahari  di Kepulauan Raja Ampat dengan pola partnership MNC  (Multi National Companies) yang melibatkan pelaku industri     wisata bahari, pemerintahan daerah dan masyarakat setempat.

e. Kepulauan  Ujung Kulon dan  Anak krakatau, Banten
Kawasan wisata  bahari ini ideal  untuk kegiatan diving dan     cuise regional dengan tema     pengebangannya ekowisata berbasis konservasi.  Program pengembangan di Kepulauan Ujung Kulon,   antara lain perencanaan tata ruang yang jelas   antara konservasi dengan areal pengembangan sesuai dengan  daya dukung lingkungan. Menyediakan fasilitas transportasi menuju obyek  wisata dengan kegiatan kapal pinisi dan seaplane untuk menampung wisatawan domestik  dari jakarta.



f. Pulau  Komodo, Nusa Tenggara  Timur
Kawasan wisata bahari  ini ideal untuk kegiatan  diving dan wisata cruise. Program pengembangan  di Pulau Komodo adalah wisata cruise regional dengan  fasilitas marina dan yacht. Untuk menjangkau pulau-pulau  kecil di sekitarnya perlu disediakan kapal pinisi dan seaplane.

g. Teluk  Tomini, Kepulauan  Tongean, Sulawesi Tengah
Kepulauan   ini ideal  untuk kegiatan   menyelam dan snorkeling. Program  pengembangan di Teluk Tomini, antara lain  penyediaan fasilitas marina, yacht, kapal pinisi  dan seaplane dengan kemitraan masyarakat dengan pelaku usaha pariwisata.

h. Kepulauan  Bali dan Lombok
Wisata bahari  di dua kepulauan  ini ideal untuk kegiatan menyelam, selancar,   cruise regional, dan internasional. Program pengembangan pariwisata  bahari di kawasan ini, antara lain dibangun kemitraan pemerintah     daerah masyarakat lokal, dan kalangan industri wisata bahari. Menyediakan fasilitas     pelabuhan, akomodasi dan pertunjukan budaya.

i. Balerang, Kepulauan Riau
Kawasan ini  sangat ideal  untuk kegiatan  cruise, yacht dan marina serta  selancar. Program pengembangan wisata bahari   di Balerang, yaitu pelabuhan wisata bahari yang menunjang  limpahan wisatawan dari Singapura menuju daerah tujuan wisata   kepulauan Riau. Pengembangan wisata cruise regional sangat ideal  karena letaknya pulau ini strategis di selat malaka dan dekat dengan Singapura.

j. Kepulauan  Seribu, Jakarta
Wisata  bahari yang  sangat ideal untuk  di kepulauan Seribu adalah selancar,  cruise regional, memancing, dan olahraga  bahari. Untuk itu program pengembangan di kawasan ini   antara lain Perencanaan tata ruang yang sangat jelas antara  area konservasi dan pengembangan yang disertai taman nasional. Serta pengembangan  untuk fasilitas air adalah marina, yacht, kapal pinisi dan seaplane untuk kegiatan olahraga  air. Seluruh kekayaan alam ini, merupakan sebagian kecil dari berjuta potensi wisata laut di Indonesia.  Jika tidak mendapat perhatian dan dikelola dengan baik kekayaan alam yang berlimpah ini hanya akan sia-sia.

k. Kepulauan  Wakatobi, Sulawesi  Tenggara
Kawasan   wisata bahari   ini ideal untuk kegiatan menyelam  dan cruise regional. Program pengembangan wisata  bahari di Kepulauan Wakatobi , antara lain cruise internasional     dan regional dengan pengembangan pelabuhan Makassar sebagai  hub, serta konservasi kekayaan laut dengan pemberlakuan sertifikat  penyelam dan penegakan hukum.

l. Kepulauan  Derawan, Kalimantan  Timur
Kawasan wisata  bahari Derawan ideal  untuk kegiatan menyelam dan  konservasi penyu. Program pengembangan wisata  bahari di kepulauan ini selain konservasi habitat penyu  sebagai daya tarik wisata, juga untuk konservasi pengembangan  budaya di Pulau Kakaban dan Sangalaki dengan pola partnership MNC  (Multi National Companies) memanfaatkan tenaga lokal.



















No comments:

Post a Comment

Rekomendasi Aplikasi Penghasil Cuan :D Dirumah saja tetap Dapet Duit !!!

Hallo Bosskyuuh semua. Perkenalkan aku Patrick Ananta berasal dari Jawa Tengah. Aku sudah lama sekali dirumahkan dikarenakan covid19 sehingg...